Setiap tahun pada tanggal 21 April pemerintah memperingati Hari Kartini. Peringatan ini merujuk pada sosok Raden Ajeng Kartini (1879-1904), anak priyai Jawa yang dianggap sebagai pelopor kemajuan perempuan Indonesia.
Hampir
setiap tahun, peringatan ini diiringi dengan berbagai kegiatan, terutama
kegiatan-kegiatan yang mengusung tema emansipasi wanita. Kalangan liberal pun
tak mau ketinggalan, peringatan Hari Kartini dijadikan momen untuk
mengampanyekan kesetaraan gender, feminisme, dan emansipasi perempuan. Kartini
pun menjadi idola wanita Indonesia.
Padahal,
jika mau jujur pada kenyataan sejarah, tanpa menihilkan gagasan-gagasannya, apa
yang dilakukan oleh Kartini baru sebatas surat menyurat, sebatas wacana, belum
pada tingkatan aksi, seperti yang lebih dulu dilakukan oleh Rohana Kudus di
Sumatera Barat, dengan mendirikan sekolah untuk memajukan pendidikan perempuan.
Surat
menyurat Kartini yang dianggap berisi gagasan-gagasan tentang kemajuan
perempuan pribumi, diterbitkan oleh Kartini Fonds, sebuah lembaga yang dibentuk
di negeri Belanda. Kumpulan surat-surat Kartini yang dibukukan dan diberi judul
“Door Duisternis tot Licht” kemudian diterbitkan pada 1917, 14 tahun pasca
wafatnya Kartini pada 1904. Kumpulan surat tersebut kemudian diterjemahkan oleh
Armijn Pane, sastrawan penganut Theosofi dengan judul “Habis Gelap Terbitlah
Terang”.
Sebagian
isi surat surat Kartini, terutama tentang kondisi kebatinan dan pemahaman
kegamaannya, sangat beraroma pluralisme.
Kartini bahkan pernah mengatakan,
bahwa agama sesungguhnya adalah kebatinan. Tak ada data-data dan keterangan
yang jelas, bahwa di akhir hayatnya, Kartini mengoreksi pemahamannya yang
sangat bercorak Theosofi.
Meskipun
di akhir hayatnya, dalam rentang waktu pada 1903, ia mengaku bertemu dan
belajar agama dengan seorang kiai di Demak yang bernama Kiai Sholeh Darat.
Pertemuan dengan kiai itu pun berlangsung singkat, karena pada tahun yang sama
sang kiai meninggal dunia. Dan, setahun kemudian Kartini menyusul meninggal dunia
pula.
Jika
merujuk pada pertemuan dengan Kiai Sholeh Darat dan pengakuan Kartini bahwa ia
baru mengenal Al-Qur’an setelah bertemu dengan kiai tersebut, maka rentang
waktu ia mengenal Al-Qur’an dan belajar keislaman hanya berlangsung
setahun.Jauh sebelum itu, pikiran-pikiran Kartini dan pemahaman keagamaannya
sangat kental dengan nuansa kebatinan Theosofi, sebuah aliran kebatinan yang
didirikan oleh perempuan berdarah Yahudi, Helena Petrovna Blavatsky.
Setelah
bertemu dengan kiai itu, sekali lagi, tak ada keterangan bahwa ia mengoreksi
pemahamannya yang bercorak sinkretisme atau pluralisme agama sebagaimana
tercermin dalam surat-suratnya.
Sebagai
seorang Muslim tentu kita berharap, Kartini meninggal dalam keadaan sempurna
keislamannya, tanpa ada lagi noda-noda pemahaman yang mengganggap semua agama
sama. Namun, fakta sejarah bahwa surat-surat yang ditulisnya sangat mengandung
ajaran pluralisme agama, harus tetap diungkapkan.
Tujuannya,
agar sosok Kartini yang dijadikan pahlawan nasional bisa terlihat utuh, dan
selubung sejarah bisa tersingkap secara terang. Setelah itu, silakan kejujuran
masyarakat yang menilai.
Kartini
mengaku dalam surat-suratnya, ada orang yang hendak mengajaknya menjadi
penganut Theosofi dan ada juga yang mengatakan dirinya secara sadar atau tidak,
adalah penganut Theosofi.
“Orang
yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut
Theosofi, dia bersedia untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam
kegelapan di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal
menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri, kami adalah penganut Theosofi.” (Surat
Kepada Ny Abendanon, 24 Agustus 1902)
“Pagi
harinya kami pergi ke Semarang, di tram kami mendengar banyak, dan apa yang
kami alami malam itu, akan kami ceritakan kepada Nyonya kemudian dengan panjang
lebar, sekarang itu kami lewati dengan diam-diam. Hari berikutnya
kami berbicara dengan Presiden Perkumpulan Theosofi, yang bersedia memberi
penerangan kepada kami, lagi-lagi kami mendengar banyak yang membuat kami berpikir.”
(Surat Kepada Nyonya Abendanon, 15 September 1902.
Berikut
ini surat-surat Kartini yang sangat kental dengan pemahaman kebatinan Theosofi
yang mengusung doktrin humanisme dan pluralisme agama:
Sepanjang
hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan
untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi
Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat
hidup dengan kasih sayang yang murni.” (Surat kepada Ny
Abendanon, 14 Desember 1902).
“Agama
yang sesungguhnya adalah kebatinan, dan agama itu bisa dipeluk baik sebagai
Nasrani, maupun Islam, dan lain-lain.” (Surat 31 Januari
1903).
“Kalau
orang mau juga mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka
Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik
Kristen maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain.” (Surat
kepada E.C Abendanon, 31 Januari 1903)
“Tidak
peduli agama apa yang dipeluk orang dan bangsa apa mereka itu. Jiwa mulia akan
tetap mulia juga dan orang budiman akan budiman juga. Hamba Allah tetap dalam
tiap-tiap agama, dalam tengah-tengah segala bangsa” (Surat
kepada Dr N Adriani, 5 Juli 1903)
“Betapapun
jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tetapi kesemuanya menuju kepada satu tujuan
yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut
Tuhan, dan kami sendiri menyebutnya Allah.” (Surat
kepada Dr N Adriani, 24 September 1902).
“Tuhan
kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan
kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan,
nurani kamilah yang memberi kurnia.”(Surat kepada E.C
Abendanon, 15 Agustus 1902).
“Selama
kami maklumi dan mengerti bahwa ujud semua agama itu baik dan bagus adanya.
Tetapi, aduhai, manusia apa jadinya agama itu, kalau perbuatan agama
dimaksudkan untuk mempertarikan semua makhluk-makhluk Allah yang berkulit putih
maupun yang berkulit hitam, tidak pandang pangkat, perempuan ataupun laki-laki.
Agama mana yang dipeluknya, semuanya kita ini adalah anak kepada Bapak Yang
Satu itu juga, kepada Tuhan Yang Maha Esa.” (Surat
kepada Nyonya Nielle van Koll, 21 Juli 1902).
Demikian
diantara beberapa surat-surat Kartini yang dikirimkan kepada
sahabat-sahabatnya. Surat-surat tersebut mencerminkan betapa kuatnya pengaruh
Theosofi, yang pada kurun waktu 1900-an sangat berpengaruh di lingkungan elit
dan para priyai Jawa.Surat-surat tersebut mendapat pujian dari Ny. Eleanor
Roosevelt, istri Presiden AS, Franklin D Roosevelt, yang juga anggota Ordo East
Star, sebuah sayap organisasi Freemason yang membolehkan wanita sebagai
anggotanya. Pada masa lalu, ordo ini juga begitu kuat pengaruhnya di Hindia
Belanda, dengan nama Order Oost Ster (Ordo Bintang Timur).
“Saya
senang sekali memperoleh pandangan-pandangan yang tajam yang diberikan oleh
surat-surat ini. Satu catatan kecil dalam surat itu menurut saya merupakan
sesuatu yang patut kita semua ingat. Kartini katakan: Kami merasa bahwa inti
dari semua agama adalah hidup yang benar, dan bahwa semua agama itu baik dan
indah. Akan tetapi, wahai umat manusia, apa yang kalian perbuat dengan dia? Daripada
mempersatukan kita, agama seringkali memaksa kita terpisah dan sedangkan gadis
yang muda ini menyadari bahwa ia harus menjadi kekuatan pemersatu.”
*Penulis
buku “Gerakan Theosofi di Indonesia, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2010.
sumber: www.arrahmah.com